Menulis, ya, ini adalah budaya sunyi yang mistis. Diam, hanya berkata sembari melukai kulit halus kertas dengan goresan tinta, itupun tanpa bersuara.
Sekarang kita coba lihat penulis-penulis legendaris kita, sebut saja penulis sekelas Abdoel Moeis, Sultan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Taufiq Ismail, Hilman Hariwijaya, sampai Andrea Hirata. Kesemuanya memiliki ciri khas yang lekat dan tak bisa saling ditukar.
Pertanyaannya adalah, siapa yang akan menjadi penerus mereka jika generasi muda kita saat ini lebih memilih untuk menjadi penikmat buku ketimbang pembuatnya? Bukankah miris jika nantinya nama-nama tersebut terhenti, dan kita hanya bisa menikmati karya-karya individu yang tersebut diatas tanpa adanya proses penciptaan karya baru?
Ayolah kawan, kita diberi cukup waktu dan kemampuan untuk menciptakan karya-karya tersebut, maka ciptakanlah! Ini ada tulisan pendek yang mungkin dapat menjadi acuan bagi anda untuk memulai penciptaan karya anda. Selamat membaca.
"Selat Sunda".....
Aku. Aku alunan syahdu molekul air yang ditindas puluhan besi apung tiap harinya. Aku deburan ombak yang menahan ledakan krakatau, mencoba menyejukkannya dan mengawasi tiap geriknya. Aku juga yang mendengar ceritamu tentang daratan nan indah, tentang hijau yang merekah, dan kisah hatimu yang merana. Aku..... Akulah riak gelombang yang menenggelamkan daratan renta diantara jawa-sumatera.
Kau mampu melihatku yang diam, sunyi, berbisik lewat angin dan bicara lewat badai. Kau tau kumerindukan daratan yang tiada lagi dapat ku temui. Dan kau ceritakan segalanya, membuat asin dalam tubuhku terhirup manis. Harmonis... Kau ceritakan begitu banyak mimpi, dan membiarkannya hidup di dalam pikirku, dalam anganku. Dan hal terakhir yang membedakanmu adalah caramu memandang setiap gerak nyata gelombangku: matamu hampa, namun penuh makna.
Aku selalu menunggumu, menunggu setiap salam sejuk yang kau haturkan khusus untukku. Namun, kali ini kau tak kunjung datang. Riakku penuh tanya, gelombangku didesak rasa khawatir. Sampai akhirnya datang seorang peri kecil, ia cantik, tulus, setiap pandangnya membawa sejuk, namun inferior. Ia menatapku dari atas salah satu besi apung, memejamkan mata, dan berkata. "Kau mendapat salam darinya, tapi mengapa harus engkau?". Ia berlalu. Pertemuanku dengannya memang singkat dan bermakna. Tidak lagi ku khawatir atas dirimu, karena pandangnya seakan berkata "kisah hatinya (dirimu) tidak akan merana lagi". Dan ini aku. Akulah yang menjadi saksi dimulainya ceritamu dengannya, dan dibangunnya mimpi-mimpi hebatmu atas namanya. Dan aku juga yang kini telah siap mencatat, dan berbagi, bercerita pada dunia kelak... Aku. Akulah Selat Sunda....
FIN
Selamat bekarya!
~spidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar